Apa dan Siapa di Balik Larangan Transportasi Online di Pekanbaru
HARI ini hampir semua media massa di Provinsi Riau menyajikan berita bentrokan antara pengemudi transportasi online dan pengemudi transportasi konvensional di Kota Pekanbaru. Konflik fisik yang kedua kalinya di Kota Bertuah ini memang cukup hebat dan memakan korban baik pihak transportasi online mau pun transportasi konvensional.
Membaca tulisan di media online nasional, spanduk larangan operasional transportasi online yang disebar Dinas Perhubungan Kota Pekanbaru yang menjadi pemicu konflik berdarah ini. BACA: Tulisan di Spanduk Picu Bentrok Ojek Online Vs Taksi Konvensional
Sebenarnya, apa dasar Dinas Perhubungan Kota Pekanbaru mengeluarkan larangan itu? Apakah mengacu pada UU nomor 22 tahun 2009 tentang angkutan? Jika begitu, saya pikir itu kebijakan yang tidak tepat.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pun sudah menetapkan transportasi online yang saat ini banyak beroperasi di kota-kota besar mendapatkan status legal sebagai angkutan sewa khusus, berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26/2017.
Ada pihak yang menyebut angkutan online di Kota Pekanbaru ini tidak ada izin. Saya pikir itu memang benar. Setahu saya yang berbasis online harus ada rekomendasi dari kominfo. Jika saya salah, mohon diperbaiki. Kalau begitu, mengapa pemerintah Kota Pekanbaru tidak membantu mengeluarkan izin tersebut?
Dasar hukumnya pun sudah jelas, yaitu Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 26 Tahun 2017 yang diberlakukan per tanggal 1 April 2017 sebagai revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Atau, apakah ada tekanan pihak tertentu sehingga pemerintah dalam hal ini Dinas Perhubungan Kota Pekanbaru nekat 'mengangkangi' aturan itu?
Penelusuran saya tentang aturan itu, ada pasal yang diberlakukan serta merta dan ada juga yang diberlakukan pada 2 atau 3 bulan, tergantung pada kompleksitas masalahnya. Pada Peraturan Menteri Nomor 26 tahun 2017 tersebut diantaranya memuat 11 poin revisi.
Mengutip website Debhub.go.id, dari 11 poin revisi aturan tersebut, 4 poin diberlakukan secara langsung pada 1 April 2017 yaitu diantaranya: (1) penetapan angkutan online sebagai angkutan sewa khusus, (2) persyaratan kapasitas silinder mesin kendaraan minimal 1.000 CC, (3) persyaratan keharusan memiliki tempat penyimpanan kendaraan, dan (4) kepemilikan atau kerjasama dengan bengkel yang merawat kendaraan.
Bukankah aturan yang dikeluarkan Menhub sebenarnya sudah bisa menjadi acuan pemerintah daerah mengeluarkan izin operasional transportasi online. Terlebih pemerintah Kota Pekanbaru selalu menggaungkan Pekanbaru Smart City Madani. Toh, di kota-kota lainnya transportasi online ini bebas melenggang mengantar penumpang. Mengapa di kota yang Smart City ini dilarang?
Sebenarnya, apa dan siapa di balik larangan transportasi online di Pekanbaru? Asu dahlah. Mari nikmati secangkir kopi, tentunya sambil membaca www.waktusantai.com
Membaca tulisan di media online nasional, spanduk larangan operasional transportasi online yang disebar Dinas Perhubungan Kota Pekanbaru yang menjadi pemicu konflik berdarah ini. BACA: Tulisan di Spanduk Picu Bentrok Ojek Online Vs Taksi Konvensional
Sebenarnya, apa dasar Dinas Perhubungan Kota Pekanbaru mengeluarkan larangan itu? Apakah mengacu pada UU nomor 22 tahun 2009 tentang angkutan? Jika begitu, saya pikir itu kebijakan yang tidak tepat.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pun sudah menetapkan transportasi online yang saat ini banyak beroperasi di kota-kota besar mendapatkan status legal sebagai angkutan sewa khusus, berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26/2017.
Ada pihak yang menyebut angkutan online di Kota Pekanbaru ini tidak ada izin. Saya pikir itu memang benar. Setahu saya yang berbasis online harus ada rekomendasi dari kominfo. Jika saya salah, mohon diperbaiki. Kalau begitu, mengapa pemerintah Kota Pekanbaru tidak membantu mengeluarkan izin tersebut?
Dasar hukumnya pun sudah jelas, yaitu Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 26 Tahun 2017 yang diberlakukan per tanggal 1 April 2017 sebagai revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Atau, apakah ada tekanan pihak tertentu sehingga pemerintah dalam hal ini Dinas Perhubungan Kota Pekanbaru nekat 'mengangkangi' aturan itu?
Penelusuran saya tentang aturan itu, ada pasal yang diberlakukan serta merta dan ada juga yang diberlakukan pada 2 atau 3 bulan, tergantung pada kompleksitas masalahnya. Pada Peraturan Menteri Nomor 26 tahun 2017 tersebut diantaranya memuat 11 poin revisi.
Mengutip website Debhub.go.id, dari 11 poin revisi aturan tersebut, 4 poin diberlakukan secara langsung pada 1 April 2017 yaitu diantaranya: (1) penetapan angkutan online sebagai angkutan sewa khusus, (2) persyaratan kapasitas silinder mesin kendaraan minimal 1.000 CC, (3) persyaratan keharusan memiliki tempat penyimpanan kendaraan, dan (4) kepemilikan atau kerjasama dengan bengkel yang merawat kendaraan.
Bukankah aturan yang dikeluarkan Menhub sebenarnya sudah bisa menjadi acuan pemerintah daerah mengeluarkan izin operasional transportasi online. Terlebih pemerintah Kota Pekanbaru selalu menggaungkan Pekanbaru Smart City Madani. Toh, di kota-kota lainnya transportasi online ini bebas melenggang mengantar penumpang. Mengapa di kota yang Smart City ini dilarang?
Sebenarnya, apa dan siapa di balik larangan transportasi online di Pekanbaru? Asu dahlah. Mari nikmati secangkir kopi, tentunya sambil membaca www.waktusantai.com
0 Response to "Apa dan Siapa di Balik Larangan Transportasi Online di Pekanbaru"
Post a Comment